Sejarah penyebaran islam di
nusantara tidak lepas dari peran walisongo. Walisongo terutama Sunan Kalijaga
menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan islam. Pendekatan ini dipilih
dalam rangka memudahkan dakwah kepada masyarakat yang pada masa itu masih
menganut hindhu-budha. Salahsatu bentuk kesenian yang dipakai adalah wayang
purwa atau wayang kulit.
Kesenian ini diciptakan oleh para
wali untuk syiar agama Islam sekaligus mengumandangkan rasa persaudaran antara
agama khususnya Islam dan Hindhu. Suluk-suluk dan tembangnya disadur dari
ayat-ayat suci Al-Qur’an. Gamelan atau musiknya dikembangkan dari karawitan
yang ada dilengkapkan menjadi seperti sekarang, yaitu slendro dan pelog.
Setiap komponen diberi makna sesuai tuntunan hidup dalam agama Islam.
Sedangkan ceritanya disadur dari
kisah Mahabarata dan Ramayana. Sunan kalijaga yang merupakan Salah satu dari
walisongo mempunyai pandangan bahwa dakwah itu harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi. Adat istiadat rakyat yang berbau Hindhu dan Budha jangan langsung
diberantas, akan tetapi diperlihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan.
Adapun cara mengubahnya dengan sedikit demi sedikit memberi warna baru kepada
budaya yang lama (Hindhu dan Budha) mengikuti sambil mempengaruhi dan mengisinya
dengan jiwa Islam, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Sunan Kalijaga merupakan wali
yang suka berdakwah dengan menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan. Sunan
Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang suka menggunakan wayang kulit untuk
berdakwah. Dalam buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang digubah pada tahun1984
oleh Iman Anom, Salah seorang keturunan dekat Sunan kalijagayang berisi:
“Badarina
dipun kadi wayang, kinudang aneng enggone, padhange
blincongipun,
ngibarate panggunggireki, damare ditya wulan, kelir
alam
suwung, ingkang nenggo cipta keboh bumi tetepe adege ringgit,
sinangga
maring nanggap”.
Artinya: anggaplah ragamu wayang
digerakkan ditempatnya, terangnya
blencong itu, ibarat panggung
kehidupanmu, lampunya bulan purnama,
layar ibarat alam jagat raya yang
sepi kosong yang selalu menunggununggu
buah pikir/kreasi manusia, batang
pisang ibarat bumi tempat
mukimnya wayang/manusia, hidupnya
ditunjang oleh yang nanggap.
Dari pernyataan di atas dapat di
gambarkan bahwa Sunan Kalijaga dalam berdakwah
mengemukakan bahwa raga manusia itu dianggap sebagai wayang, sedangkan panggung
kehidupan diibartakan seperti blencong atau lampu. Sedangkan layar diibaratkan
sebagai alam yang selalu menunggu kreasi manusia supaya tidak sepi dan kosong.
Batang pisang yang fungsinya untuk menancapkan wayang diibaratkan bumi tempat
tinggal manusia. Yang mengatur seluruh hidup manusia adalah Allah SWT.
Sunan Kalijaga memanfaatkan
pagelaran wayang sebagai media dakwah untuk penyebaran agama/kepercayaan Islam.
Sebagai dalang beliau terkenal dengan sebutan “Kidalang sang Kuncoro Purwo”.
Ini berarti dizaman itu wayang sudah merupakan media informasi dan komunikasi yang
efektif, edukatif dan persuatif.
Disamping itu media wayang yang
dipergunakan pengislaman wayang (yang waktu itu menganut agama Hindhu dan
Budha) yang konon dilakukan oleh sunan kalijaga pada saat pertunjukan akan
diadakan dengan cara setiap pengunjung membaca kalimat sahadat sebagai “Tanggapannya”
(menurut bahasa cirebon tanggapan berarti pembayaran untuk dapatmenonton suatu
pertunjukan).
Berhasil tidaknya dakwah itu
diantaranya tergantung pada da’i, sedangkan dakwah dengan menggunakan media
wayang itu berhasil tidaknya tergantung pada dalangnya dalam memainkan wayang
dan menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Peran dalang sangat penting dalam pertunjukan
wayang. Karena pertunjukan wayang itu tidak mungkin ada tanpa adanya dalang.
Bagi masyarakat jawa, wayang
tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga sebagai tuntunan. Wayang bukan
hanya sekedar sebagai saran hiburan, akan tetapi juga sebagai media komunikasi,
media penyuluhan, media pendidikan dan juga bisa digunakan sebagai media
dakwah. Kwalitas pertunjukan wayang, baik fungsinya sebagai tontonan maupun
sebagai tuntunan, memang sangat ditentukan oleh sang dalang.
Dilihat dari aspek wayang sebagai
tuntunan, peranan dalang hampir-hampir sangat mutlak. Untuk bisa memberikan
tuntunan kepada.masyarakat, khususnya para penonton, seorang dalang
harus menguasai hampir segala hal. Dalam istilah Jawa ia harus mumpuni. Seorang
dalang memang seharusnya memiliki kwalitas diri yang melampaui anggota masyarakat
lainnya.
Seorang dalang itu bukan saja
hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh,
sebagai penutur, pendidik atau guru bagi masyarakat dan juga diharapkan rohaniawan
yang selalu berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan
melarang kejahatan, menanamkan kepada masyarakat semangat amar ma’ruf nahi
munkar, sesuai dengan ajaran agama.
Adapun lakon-lakon yang
ditayangkan oleh para wali dari lakon karangan Mahabarta dan Ramayana yang
diambil tokoh-tokohnya sebagai pelaku. Ditambahkan pula tokoh-tokoh karangan
sendiri yaitu figure punokawan antara lain semar, nala gareng,
petruk, dan bagong, bukan merupakan sebutan bahasa jawa kuno,
tetapi berasal dari bahasa arab yaitu:
Semar yang berasal dari Ismaar
Nala gareng berasal dari Naala
qariin
Petruk berasal dari Fatruk
Bagong berasal dari Baghaa.
Adegan punokawan (goro-goro)
memang banyak diminati penonton disetiap pertunjukan. Humor, kritik merupakan
isi adegan ini, jadi sangat tepat apabila pesan Islam masuk goro-goro. Sedangkan
lakon pertama yang ditayangkan oleh sunan Kalijaga adalah Bhimo suci. Lakon ini
menggambarkan bagaimana seseoarang mendapat godaan dalam menuntut keimanan.
Dalam perkembangannya banyak
wujud wayang kulit dalam kreasi baru yang dintaranya adalah wayang sadat.
Wayang sadat ini berdasarkan pada paham (ajaran) Islam yang berfungsi
sebagai sarana dakwah. Wujud wayang sadat masih masih berdasasr pada wayang
kulit purwa, baik atribut maupun stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tangan serta
irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan.
Cerita wayang sadat berkisar
pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa dikenalnya para wali di
Demak) hingga pada masa berdirinya berdirinya kesultanan mataram.Sesuai dengan
misinya wayang sadat disamping wujud wayangyang bercorak Islam, sarana
lainnya juga disesuaikan dengan Islam. Baik dalang maupun niyaga memakai
memakai serban, serta anggota lainnyapun memakai busana muslim. Awal
pertunjukan wayang sadat biasanya dimulai engan pemukulan beduk yang kemudian
dibuka dengan salam.
REFERENSI
Amin, Darori dkk. 2000. Islam
dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Anom,Imam. 1993. Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj.
Muhammad Khafidz Basri,dkk. Jakarta: Balai Pustaka
Sujamto. 1992. Wayang dan
Budaya Jawa. Semarang: Dahara
Prize
Sutarno, tanpa tahun. Wayang Kulit Jawa, Surakarta:
Cendrawasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar