Wayang
merupakan salah satu media dakwah yang digunakan sejak zaman penyeberan islam
melalui para ulama yang sering disebut dengan “Walisongo” khususnya di kawasan tanah jawa. Pada perkembangannya
meskipun sudah beratus-ratus tahun, ternyata wayang masih tetap eksis digunakan
sebagai media dakwah hingga saat ini. Tentunya dengan menyesuaikan dengan
kondisisi zaman dan perkembangan teknologi yang ada.
Secara harfiyah
wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu
berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau
berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda
dengan film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara
dalam pertunjukan wayang itu dikenal dengan dalang, yang peranannya
dapat didominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa.
Apabila
ditinjau dari sisi asal-usulnya, pertunjukan wayang merupakan salah satu bentuk
teater tradisional paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertujukan wayang yaitu yang terdapat pada Prasasti Belitung
dengan 907 M yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya
pertujukan wayang. Lebih jauh lagi menurut Sri Mulyono pertunjukan wayang
timbul kurang lebih pada Zaman Neolithikum atau kurang lebih pada tahun 1500
sebelum masehi.
Di Indonesia
terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok dan
Kalimantan, Sumatera dan lain-lainya, baik yang masih populer maupun yang
hampir punah atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau
museum-museum. Dari beragam wayang, yang paling terkenal, tersebar luas dan
diketahui perkembangan sejarahnya adalah wayang purwa.
Wayang purwa
atau orang awan sering menyebutnya wayang kulit adalah salah satu jenis wayang
yang berupa boneka pipih yang terbuat dari kulit lembu. Penyaduran sumber
ceritanya dari epos Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ke dalam
bahasa jawa kuna dilakukan pada masa Jayabaya oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh
serta Empu Kanwa. Sunan Kalijaga, salah seorang walisanga (Demak, Abad XV)
adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang dengan bahan dari kulit
lembu.
Wayang purwa
telah disebutkan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Karya Empu Kanwa pada
zaman pemerintahan raja Airlangga di
Jawa Timur (1019-1043 M). Jika dihitung dari zaman itu wayang purwa telah
dikenal dan digemari selama hampir seribu tahun. Pada masa Sunan Kalijaga
wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media
dakwah islam. Sunan Kalijaga menggunakan
wayang sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan dengan rakyat dan juga untuk
menarik simpati rakyat. Karena pada waktu itu masyarakat lebih suka dengan
keramaian, maka sangat cocok apabila Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan
menggunakan wayang yang diiringi dengan musik gamelan.
Sunan Kalijaga dan
para wali lainnya menggubah wayang sehingga tidak bertentangan dengan islam.
Bentuk wayang yang semula hanya beberan
(lembaran) kemudian dipisah-pisah
sehingga dapat digerakkan tokoh satu dan lainnya. Kemudian bentuknya yang
semula seperti bentuk dalam arca candi kemudian dirubah, digambar dengan wajah
miring dan distilasi (digayakan) sehingga
jauh berbeda dengan bentuk semula dan tidak bertentangan dengan islam. Sunan Kalijaga beserta Sunan Bonang dan
Sunan Giri menciptakan wayang punakawan pandawa yang terdiri dari semar,
petruk, dan gareng.
Pada
Perkembangan selanjutnya wayang dikembangkan lebih lanjut pada masa keraton
Pajang, Mataram hingga Ngayogjakarta dan Surakarta. Pada masa Kesultanan Pajang
dibuat wayang dengan membedakan antara raja dan
para punggawa. Pada masa Panembahan Senopati menambahkan binatang hutan.
Pada masa Sultang Agung Hanyakrakusuma bentuk wayang disempurnakan bentuk mata
dibedakan antara kedondongan dan
liyepan. Bentuk wayang semakin berkembang dan sempurna dengan berbagai
variasinya seperti sekarang.Variasi wayang purwa (gagrag) secara umum
terbagi berdasarkan daerahnya yang memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa
variasi tersebut antara lain : Gagrag Yogyakarta, Gagrag Surakarta, Gagrag
Banyumasan, Gagrag Cirebonan, dan Gagrag Jawatimuran.
Wayang Purwa
dengan segala perkembangannya mengandung arti dan falsafah yang sangat
mendalam. Mulai dari segela perangkat peralatan yang digunakan, bentuk fisik
wayang, hingga penyajian cerita dalam wayang purwa memiliki makna tersendiri.
Bahkan bagi masyarakat jawa wayang bukan saja tontonan melainkan juga tuntunan.
Wayang juga merupakan refleksi dari sosial kemasyaraktan dan falsafah jawa.
Cerita lakon wayang mencerminkan perlambang
kehidupan manusia. Tidak hanya jalan cerita saja, tetapi penanggap wayang,
dhalang, wayang dan segala perlengkapannya juga berisi perlambangan yang
disebut pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran) sehingga
terjadilah semacam anekdot “orang jawa tempat sindiran.” Caranya dengan barang,
gambar, warna,bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang
adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku).
Dalam karakter tokoh pewayangan seorang yang sakti, berilmu tinggi, sosok
pandita selalu menggendong tangan kirinya, jika sedang berjalan tangan kanannya
saja yang bergerak. Ini adalah perlambangan orang suci yang berilmu tinggi.
Pralambang
lain yaitu pralambang berupa
barang misalnya : Adas pula-waras (berarti orang sakit akan waras), pupus
gedang (orang yang sakit akan mati, sanak saudaranya agar mupus/merelakan
takdir Tuhan), gulungan tembakau (orang yang sakit akan dibungkus seperti
menggulung rokok, karena sudah tidak dapat diobati), jarit putih (orang yang
sakit akan mati dibungkus kain kafan yang berwarna putih). Adapun pralambang
warna misalnya: merah berarti berani, putih berarti suci, kuning berarti
luhur/agung, dan sebagainya.
Kebiasaan masyarakat jawa yang lekat dengan
perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukan unsur islam ke
dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam cerita Jamus Kalimasada merupakan
perlambangan dari kalimat syahadat yaitu syarat pertama seseorang memeluk
islam. Tokoh wayang satriya pandawa dalam kisah mahabharata kemudian
dipersonifikasikan sebagai 5 rukun islam. Bahkan kisah pewayang juga dijadikan
media untuk mengajarkan tasawuf seperti dalam lakon “Bima Ngaji” atau “Dewa
Ruci.”
Falsafah Islam yang lain juga terdapat dalam
gunungan. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan ditaruh di
tengah-tengah kelir yang merupakan titik
pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbolis dari
“Mustika Masjid.” Apabila gunungan di jungkir balik maka akan menyerupai
jantung manusia. Makna yang tersirat tidak sembarangan, karena mengandungb
falsafah islam. Sebagai orang hidup, jantungnya harus selalu berada di masjid.
Jika orang itu belum ada niat ke masjid, berarti imannya belum sempurna.
Gunungan oleh ki dalang selalu ditancapkan di tengah kelir ketika awal
pertunjukan ini mengandung arti bahwa yang pertama-tama diperhatikan dalam
hidup ini adalah masjidnya, yang berarti beribadah kepada Allah sebagai tujuan
hidup manusia.
REFERENSI
Bustomi,
Suwaji. 1993. Nilai-Nilai Seni
Pewayangan. Semarang : Dahara Prize
Ismunandar
K, RM. 1994. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya.
Semarang: Dahara Prize
Kuning,
Bendung Layung. 2011. Atlas Tokoh-Tokoh
Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi
Mulyono, Sri. 1975. Wayang, Asal-usul. Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: BP.Alda
Sujamto.
1992. Wayang dan Budaya Jawa.
Semarang: Dahara Prize
Susilo
dkk, Bambang. 1993. Seneng Wayang Cinta
Budaya. Semarang: Media Wiyata