Senin, 21 Maret 2016

WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH


Sejarah penyebaran islam di nusantara tidak lepas dari peran walisongo. Walisongo terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan islam. Pendekatan ini dipilih dalam rangka memudahkan dakwah kepada masyarakat yang pada masa itu masih menganut hindhu-budha. Salahsatu bentuk kesenian yang dipakai adalah wayang purwa atau wayang kulit.

Kesenian ini diciptakan oleh para wali untuk syiar agama Islam sekaligus mengumandangkan rasa persaudaran antara agama khususnya Islam dan Hindhu. Suluk-suluk dan tembangnya disadur dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Gamelan atau musiknya dikembangkan dari karawitan yang ada dilengkapkan menjadi seperti sekarang, yaitu slendro dan pelog. Setiap komponen diberi makna sesuai tuntunan hidup dalam agama Islam.

Sedangkan ceritanya disadur dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Sunan kalijaga yang merupakan Salah satu dari walisongo mempunyai pandangan bahwa dakwah itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat yang berbau Hindhu dan Budha jangan langsung diberantas, akan tetapi diperlihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara mengubahnya dengan sedikit demi sedikit memberi warna baru kepada budaya yang lama (Hindhu dan Budha) mengikuti sambil mempengaruhi dan mengisinya dengan jiwa Islam, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Sunan Kalijaga merupakan wali yang suka berdakwah dengan menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang suka menggunakan wayang kulit untuk berdakwah. Dalam buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang digubah pada tahun1984 oleh Iman Anom, Salah seorang keturunan dekat Sunan kalijagayang berisi:

“Badarina dipun kadi wayang, kinudang aneng enggone, padhange
blincongipun, ngibarate panggunggireki, damare ditya wulan, kelir
alam suwung, ingkang nenggo cipta keboh bumi tetepe adege ringgit,
sinangga maring nanggap”.

Artinya: anggaplah ragamu wayang digerakkan ditempatnya, terangnya
blencong itu, ibarat panggung kehidupanmu, lampunya bulan purnama,
layar ibarat alam jagat raya yang sepi kosong yang selalu menunggununggu
buah pikir/kreasi manusia, batang pisang ibarat bumi tempat
mukimnya wayang/manusia, hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.

Dari pernyataan di atas dapat di gambarkan bahwa Sunan Kalijaga dalam  berdakwah mengemukakan bahwa raga manusia itu dianggap sebagai wayang, sedangkan panggung kehidupan diibartakan seperti blencong atau lampu. Sedangkan layar diibaratkan sebagai alam yang selalu menunggu kreasi manusia supaya tidak sepi dan kosong. Batang pisang yang fungsinya untuk menancapkan wayang diibaratkan bumi tempat tinggal manusia. Yang mengatur seluruh hidup manusia adalah Allah SWT.

Sunan Kalijaga memanfaatkan pagelaran wayang sebagai media dakwah untuk penyebaran agama/kepercayaan Islam. Sebagai dalang beliau terkenal dengan sebutan “Kidalang sang Kuncoro Purwo”. Ini berarti dizaman itu wayang sudah merupakan media informasi dan komunikasi yang efektif, edukatif dan persuatif.

Disamping itu media wayang yang dipergunakan pengislaman wayang (yang waktu itu menganut agama Hindhu dan Budha) yang konon dilakukan oleh sunan kalijaga pada saat pertunjukan akan diadakan dengan cara setiap pengunjung membaca kalimat sahadat sebagai “Tanggapannya” (menurut bahasa cirebon tanggapan berarti pembayaran untuk dapatmenonton suatu pertunjukan).

Berhasil tidaknya dakwah itu diantaranya tergantung pada da’i, sedangkan dakwah dengan menggunakan media wayang itu berhasil tidaknya tergantung pada dalangnya dalam memainkan wayang dan menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Peran dalang sangat penting dalam pertunjukan wayang. Karena pertunjukan wayang itu tidak mungkin ada tanpa adanya dalang.

Bagi masyarakat jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga sebagai tuntunan. Wayang bukan hanya sekedar sebagai saran hiburan, akan tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan, media pendidikan dan juga bisa digunakan sebagai media dakwah. Kwalitas pertunjukan wayang, baik fungsinya sebagai tontonan maupun sebagai tuntunan, memang sangat ditentukan oleh sang dalang.

Dilihat dari aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang hampir-hampir sangat mutlak. Untuk bisa memberikan tuntunan kepada.masyarakat, khususnya para penonton, seorang dalang harus menguasai hampir segala hal. Dalam istilah Jawa ia harus mumpuni. Seorang dalang memang seharusnya memiliki kwalitas diri yang melampaui anggota masyarakat lainnya.

Seorang dalang itu bukan saja hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penutur, pendidik atau guru bagi masyarakat dan juga diharapkan rohaniawan yang selalu berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan melarang kejahatan, menanamkan kepada masyarakat semangat amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan ajaran agama.

Adapun lakon-lakon yang ditayangkan oleh para wali dari lakon karangan Mahabarta dan Ramayana yang diambil tokoh-tokohnya sebagai pelaku. Ditambahkan pula tokoh-tokoh karangan sendiri yaitu figure punokawan antara lain semar, nala gareng, petruk, dan bagong, bukan merupakan sebutan bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab yaitu:

Semar yang berasal dari Ismaar
Nala gareng berasal dari Naala qariin
Petruk berasal dari Fatruk
Bagong berasal dari Baghaa.

Adegan punokawan (goro-goro) memang banyak diminati penonton disetiap pertunjukan. Humor, kritik merupakan isi adegan ini, jadi sangat tepat apabila pesan Islam masuk goro-goro. Sedangkan lakon pertama yang ditayangkan oleh sunan Kalijaga adalah Bhimo suci. Lakon ini menggambarkan bagaimana seseoarang mendapat godaan dalam menuntut keimanan.

Dalam perkembangannya banyak wujud wayang kulit dalam kreasi baru yang dintaranya adalah wayang sadat. Wayang sadat ini berdasarkan pada paham (ajaran) Islam yang berfungsi sebagai sarana dakwah. Wujud wayang sadat masih masih berdasasr pada wayang kulit purwa, baik atribut maupun stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tangan serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan.

Cerita wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa dikenalnya para wali di Demak) hingga pada masa berdirinya berdirinya kesultanan mataram.Sesuai dengan misinya wayang sadat disamping wujud wayangyang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan Islam. Baik dalang maupun niyaga memakai memakai serban, serta anggota lainnyapun memakai busana muslim. Awal pertunjukan wayang sadat biasanya dimulai engan pemukulan beduk yang kemudian dibuka dengan salam.

REFERENSI
Amin, Darori dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Anom,Imam.  1993. Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj. Muhammad Khafidz Basri,dkk. Jakarta: Balai Pustaka
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Sutarno, tanpa tahun. Wayang Kulit Jawa, Surakarta: Cendrawasih



Tidak ada komentar:

Posting Komentar