Senin, 21 Maret 2016

WAYANG DAN PESAN DAKWAH SIMBOLIS


Wayang merupakan salah satu media dakwah yang digunakan sejak zaman penyeberan islam melalui para ulama yang sering disebut dengan “Walisongo” khususnya di kawasan tanah jawa. Pada perkembangannya meskipun sudah beratus-ratus tahun, ternyata wayang masih tetap eksis digunakan sebagai media dakwah hingga saat ini. Tentunya dengan menyesuaikan dengan kondisisi zaman dan perkembangan teknologi yang ada.

Secara harfiyah wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat didominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa.

Apabila ditinjau dari sisi asal-usulnya, pertunjukan wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertujukan wayang yaitu yang terdapat pada Prasasti Belitung dengan 907 M yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertujukan wayang. Lebih jauh lagi menurut Sri Mulyono pertunjukan wayang timbul kurang lebih pada Zaman Neolithikum atau kurang lebih pada tahun 1500 sebelum masehi.

Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok dan Kalimantan, Sumatera dan lain-lainya, baik yang masih populer maupun yang hampir punah atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau museum-museum. Dari beragam wayang, yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui perkembangan sejarahnya adalah wayang purwa.

Wayang purwa atau orang awan sering menyebutnya wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang berupa boneka pipih yang terbuat dari kulit lembu. Penyaduran sumber ceritanya dari epos Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ke dalam bahasa jawa kuna dilakukan pada masa Jayabaya oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh serta Empu Kanwa. Sunan Kalijaga, salah seorang walisanga (Demak, Abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang dengan bahan dari kulit lembu.

Wayang purwa telah disebutkan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Karya Empu Kanwa pada zaman  pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur (1019-1043 M). Jika dihitung dari zaman itu wayang purwa telah dikenal dan digemari selama hampir seribu tahun. Pada masa Sunan Kalijaga wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media dakwah  islam. Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan dengan rakyat dan juga untuk menarik simpati rakyat. Karena pada waktu itu masyarakat lebih suka dengan keramaian, maka sangat cocok apabila Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan menggunakan wayang yang diiringi dengan musik gamelan.

Sunan Kalijaga dan para wali lainnya menggubah wayang sehingga tidak bertentangan dengan islam. Bentuk  wayang yang semula hanya beberan (lembaran)  kemudian dipisah-pisah sehingga dapat digerakkan tokoh satu dan lainnya. Kemudian bentuknya yang semula seperti bentuk dalam arca candi kemudian dirubah, digambar dengan wajah miring dan distilasi (digayakan) sehingga jauh berbeda dengan bentuk semula dan  tidak bertentangan dengan  islam. Sunan Kalijaga beserta Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang punakawan pandawa yang terdiri dari semar, petruk, dan gareng.

Pada Perkembangan selanjutnya wayang dikembangkan lebih lanjut pada masa keraton Pajang, Mataram hingga Ngayogjakarta dan Surakarta. Pada masa Kesultanan Pajang dibuat wayang dengan membedakan antara raja dan  para punggawa. Pada masa Panembahan Senopati menambahkan binatang hutan. Pada masa Sultang Agung Hanyakrakusuma bentuk wayang disempurnakan bentuk mata dibedakan antara kedondongan dan  liyepan. Bentuk wayang semakin berkembang dan sempurna dengan berbagai variasinya seperti sekarang.Variasi wayang purwa (gagrag) secara umum terbagi berdasarkan daerahnya yang memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa variasi tersebut antara lain : Gagrag Yogyakarta, Gagrag Surakarta, Gagrag Banyumasan, Gagrag Cirebonan, dan Gagrag Jawatimuran.

Wayang Purwa dengan segala perkembangannya mengandung arti dan falsafah yang sangat mendalam. Mulai dari segela perangkat peralatan yang digunakan, bentuk fisik wayang, hingga penyajian cerita dalam wayang purwa memiliki makna tersendiri. Bahkan bagi masyarakat jawa wayang bukan saja tontonan melainkan juga tuntunan. Wayang juga merupakan refleksi dari sosial kemasyaraktan dan falsafah jawa.

Cerita lakon wayang mencerminkan perlambang kehidupan manusia. Tidak hanya jalan cerita saja, tetapi penanggap wayang, dhalang, wayang dan segala perlengkapannya juga berisi perlambangan yang disebut pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran) sehingga terjadilah semacam anekdot “orang jawa tempat sindiran.” Caranya dengan barang, gambar, warna,bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku). Dalam karakter tokoh pewayangan seorang yang sakti, berilmu tinggi, sosok pandita selalu menggendong tangan kirinya, jika sedang berjalan tangan kanannya saja yang bergerak. Ini adalah perlambangan orang suci yang berilmu tinggi.

Pralambang lain yaitu pralambang berupa barang misalnya : Adas pula-waras (berarti orang sakit akan waras), pupus gedang (orang yang sakit akan mati, sanak saudaranya agar mupus/merelakan takdir Tuhan), gulungan tembakau (orang yang sakit akan dibungkus seperti menggulung rokok, karena sudah tidak dapat diobati), jarit putih (orang yang sakit akan mati dibungkus kain kafan yang berwarna putih). Adapun pralambang warna misalnya: merah berarti berani, putih berarti suci, kuning berarti luhur/agung, dan sebagainya.

Kebiasaan masyarakat jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukan unsur islam ke dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam cerita Jamus Kalimasada merupakan perlambangan dari kalimat syahadat yaitu syarat pertama seseorang memeluk islam. Tokoh wayang satriya pandawa dalam kisah mahabharata kemudian dipersonifikasikan sebagai 5 rukun islam. Bahkan kisah pewayang juga dijadikan media untuk mengajarkan tasawuf seperti dalam lakon “Bima Ngaji” atau “Dewa Ruci.”

Falsafah Islam yang lain juga terdapat dalam gunungan. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan ditaruh di tengah-tengah  kelir yang merupakan titik pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbolis dari “Mustika Masjid.” Apabila gunungan di jungkir balik maka akan menyerupai jantung manusia. Makna yang tersirat tidak sembarangan, karena mengandungb falsafah islam. Sebagai orang hidup, jantungnya harus selalu berada di masjid. Jika orang itu belum ada niat ke masjid, berarti imannya belum sempurna. Gunungan oleh ki dalang selalu ditancapkan di tengah kelir ketika awal pertunjukan ini mengandung arti bahwa yang pertama-tama diperhatikan dalam hidup ini adalah masjidnya, yang berarti beribadah kepada Allah sebagai tujuan hidup manusia.

REFERENSI
Bustomi, Suwaji. 1993. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang : Dahara Prize
Ismunandar K, RM. 1994. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize
Kuning, Bendung Layung. 2011. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi
Mulyono, Sri. 1975. Wayang, Asal-usul. Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: BP.Alda
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Susilo dkk, Bambang. 1993. Seneng Wayang Cinta Budaya. Semarang: Media Wiyata


WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH


Sejarah penyebaran islam di nusantara tidak lepas dari peran walisongo. Walisongo terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan islam. Pendekatan ini dipilih dalam rangka memudahkan dakwah kepada masyarakat yang pada masa itu masih menganut hindhu-budha. Salahsatu bentuk kesenian yang dipakai adalah wayang purwa atau wayang kulit.

Kesenian ini diciptakan oleh para wali untuk syiar agama Islam sekaligus mengumandangkan rasa persaudaran antara agama khususnya Islam dan Hindhu. Suluk-suluk dan tembangnya disadur dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Gamelan atau musiknya dikembangkan dari karawitan yang ada dilengkapkan menjadi seperti sekarang, yaitu slendro dan pelog. Setiap komponen diberi makna sesuai tuntunan hidup dalam agama Islam.

Sedangkan ceritanya disadur dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Sunan kalijaga yang merupakan Salah satu dari walisongo mempunyai pandangan bahwa dakwah itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat yang berbau Hindhu dan Budha jangan langsung diberantas, akan tetapi diperlihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara mengubahnya dengan sedikit demi sedikit memberi warna baru kepada budaya yang lama (Hindhu dan Budha) mengikuti sambil mempengaruhi dan mengisinya dengan jiwa Islam, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Sunan Kalijaga merupakan wali yang suka berdakwah dengan menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang suka menggunakan wayang kulit untuk berdakwah. Dalam buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang digubah pada tahun1984 oleh Iman Anom, Salah seorang keturunan dekat Sunan kalijagayang berisi:

“Badarina dipun kadi wayang, kinudang aneng enggone, padhange
blincongipun, ngibarate panggunggireki, damare ditya wulan, kelir
alam suwung, ingkang nenggo cipta keboh bumi tetepe adege ringgit,
sinangga maring nanggap”.

Artinya: anggaplah ragamu wayang digerakkan ditempatnya, terangnya
blencong itu, ibarat panggung kehidupanmu, lampunya bulan purnama,
layar ibarat alam jagat raya yang sepi kosong yang selalu menunggununggu
buah pikir/kreasi manusia, batang pisang ibarat bumi tempat
mukimnya wayang/manusia, hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.

Dari pernyataan di atas dapat di gambarkan bahwa Sunan Kalijaga dalam  berdakwah mengemukakan bahwa raga manusia itu dianggap sebagai wayang, sedangkan panggung kehidupan diibartakan seperti blencong atau lampu. Sedangkan layar diibaratkan sebagai alam yang selalu menunggu kreasi manusia supaya tidak sepi dan kosong. Batang pisang yang fungsinya untuk menancapkan wayang diibaratkan bumi tempat tinggal manusia. Yang mengatur seluruh hidup manusia adalah Allah SWT.

Sunan Kalijaga memanfaatkan pagelaran wayang sebagai media dakwah untuk penyebaran agama/kepercayaan Islam. Sebagai dalang beliau terkenal dengan sebutan “Kidalang sang Kuncoro Purwo”. Ini berarti dizaman itu wayang sudah merupakan media informasi dan komunikasi yang efektif, edukatif dan persuatif.

Disamping itu media wayang yang dipergunakan pengislaman wayang (yang waktu itu menganut agama Hindhu dan Budha) yang konon dilakukan oleh sunan kalijaga pada saat pertunjukan akan diadakan dengan cara setiap pengunjung membaca kalimat sahadat sebagai “Tanggapannya” (menurut bahasa cirebon tanggapan berarti pembayaran untuk dapatmenonton suatu pertunjukan).

Berhasil tidaknya dakwah itu diantaranya tergantung pada da’i, sedangkan dakwah dengan menggunakan media wayang itu berhasil tidaknya tergantung pada dalangnya dalam memainkan wayang dan menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Peran dalang sangat penting dalam pertunjukan wayang. Karena pertunjukan wayang itu tidak mungkin ada tanpa adanya dalang.

Bagi masyarakat jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga sebagai tuntunan. Wayang bukan hanya sekedar sebagai saran hiburan, akan tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan, media pendidikan dan juga bisa digunakan sebagai media dakwah. Kwalitas pertunjukan wayang, baik fungsinya sebagai tontonan maupun sebagai tuntunan, memang sangat ditentukan oleh sang dalang.

Dilihat dari aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang hampir-hampir sangat mutlak. Untuk bisa memberikan tuntunan kepada.masyarakat, khususnya para penonton, seorang dalang harus menguasai hampir segala hal. Dalam istilah Jawa ia harus mumpuni. Seorang dalang memang seharusnya memiliki kwalitas diri yang melampaui anggota masyarakat lainnya.

Seorang dalang itu bukan saja hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penutur, pendidik atau guru bagi masyarakat dan juga diharapkan rohaniawan yang selalu berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan melarang kejahatan, menanamkan kepada masyarakat semangat amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan ajaran agama.

Adapun lakon-lakon yang ditayangkan oleh para wali dari lakon karangan Mahabarta dan Ramayana yang diambil tokoh-tokohnya sebagai pelaku. Ditambahkan pula tokoh-tokoh karangan sendiri yaitu figure punokawan antara lain semar, nala gareng, petruk, dan bagong, bukan merupakan sebutan bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab yaitu:

Semar yang berasal dari Ismaar
Nala gareng berasal dari Naala qariin
Petruk berasal dari Fatruk
Bagong berasal dari Baghaa.

Adegan punokawan (goro-goro) memang banyak diminati penonton disetiap pertunjukan. Humor, kritik merupakan isi adegan ini, jadi sangat tepat apabila pesan Islam masuk goro-goro. Sedangkan lakon pertama yang ditayangkan oleh sunan Kalijaga adalah Bhimo suci. Lakon ini menggambarkan bagaimana seseoarang mendapat godaan dalam menuntut keimanan.

Dalam perkembangannya banyak wujud wayang kulit dalam kreasi baru yang dintaranya adalah wayang sadat. Wayang sadat ini berdasarkan pada paham (ajaran) Islam yang berfungsi sebagai sarana dakwah. Wujud wayang sadat masih masih berdasasr pada wayang kulit purwa, baik atribut maupun stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tangan serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan.

Cerita wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa dikenalnya para wali di Demak) hingga pada masa berdirinya berdirinya kesultanan mataram.Sesuai dengan misinya wayang sadat disamping wujud wayangyang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan Islam. Baik dalang maupun niyaga memakai memakai serban, serta anggota lainnyapun memakai busana muslim. Awal pertunjukan wayang sadat biasanya dimulai engan pemukulan beduk yang kemudian dibuka dengan salam.

REFERENSI
Amin, Darori dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Anom,Imam.  1993. Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj. Muhammad Khafidz Basri,dkk. Jakarta: Balai Pustaka
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Sutarno, tanpa tahun. Wayang Kulit Jawa, Surakarta: Cendrawasih



PENGERTIAN DAKWAH, DASAR KEWAJIBAN DAKWAH DAN UNSUR-UNSUR DAKWAH


1. Pengertian Dakwah

Secara bahasa, “Dakwah” berasal dari kata Arab دعا- يدعو- دعوة
 yang berarti: “ajakan, seruan, panggilan, undangan”. 

Sedang menurut pakar, pengertian dakwah sebagai berikut:

Dr. Hamzah Ya’kub mendefinisikan dakwah ialah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya.

Drs. Barmawi Umari menambahkan bahwa dakwah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan dimasa sekarang dan yang akan datang.

Setelah kita mengetahui pendapat-pendapat dari beberapa
pakar mengenai dakwah ini, kita dapat mengetahui adanya persamaan persamaan
unsur tertentu, antara lain:
a. Unsur mengajak ke jalan yang benar menurut garis-garis dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
b. Unsur amar ma’ruf nahi munkar, yakni menyuruh manusia untuk melakukan amal kebajikan serta melarang manusia untuk berbuat kurang baik.
c. Unsur tujuan hidup manusia, yakni untuk memperolah kemaslahatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Melihat persamaan-persamaan tersebut maka penulis akan mengambil kesimpulan tentang pengertian dakwah yaitu mengajak dan sebagainya kepada manusia lain baik perorangan maupun kelompok
agar melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sesuai ajaran Islam secara penuh guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Dasar Kewajiban Dakwah

Dasar dari kewajiban dakwah ialah Al Qur’an surat Al-Imron
ayat 104:

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن
المنكر واولئك هم المفلحون.

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”

Kemudian pada surat An-Nahl ayat 125, Allah menegaskan:

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هى
احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين.

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Meskipun seorang muslim mendapat perintah Allah untuk menyerukan manusia, memperbaiki kehidupan sesuai jalan Allah, akan tetapi dalam prakteknya Islam memberi kebebasan manusia untuk
menentukan agamanya. Firman Allah dalam surat Al Baqarah: 256.

لااآره فىالدين قد تبين الرشد من الغي.

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang Salah....”


3. Unsur-unsur Dakwah
Suatu aktifitas bila berjalan sebagaimana mestinya pastilah ada unsur-unsur yang saling mendukung satu sama lain. Begitu juga dengan aktivitas dakwah, terdapat unsur-unsur yang saling mempengaruhi.

Dakwah ini memiliki lima unsur pokok yaitu:

a. Subyek (da’i)
Da’i merupakan pelaksana kegiatan dakwah, baik secara individu maupun secara kelompok (organisasi). Da’i merupakan Salah satu unsur dari dakwah. Dakwah tidak mungkin terselenggara
walaupun unsur-unsur yang lainnya terpenuhi dengan sempurna. Da’i adalah seorang muslim yang memiliki syarat-syarat dengan kemampuan tertentu yang dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Da’i biasa juga disebut dengan mubaligh yang merupakan pelaksana dakwah serta juru dakwah.
Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadiseorang da’i menurut Hafi Anshari antara lain:

1) Persyaratan jasmani (fisik) 
Kesehatan jasmani menjadi faktor yang penting dalammemperlancar dakwah disamping itu juga kondisi jasmani dan penampilan fisik seorang da’i akan menjadi kebanggaan bagi mad’u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh mengenai cacat atau tidak
2) Persyaratan ilmu pengetahuan
Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman da’i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad’u,materi, media serta tujuan dakwah.
3) Persyaratan kepribadian
Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da’i untuk
memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh danketeladanan.

Seorang da’i haruslah mempunyai kepribadian yang baik, watak dan sikapnya menyenangkan, perlakunya baik dan bisa dijadikan contoh, perkataannya selalu benar, sedangkan sifat-sifatnya
mulia dan terpuji, akhlaknya juga baik, yang kesemuanya itu tercermin didalam kepribadian Rasulullah SAW.

b. Obyek (mad’u)
Masyarakat sebagai penerima dakwah, sasaran dakwah atau kepada siapa dakwah itu ditujukan. Karena penerima dakwah adalah individu ataupun masyarakat, tentu akan dijumpai mad’u yang latar
belakangnya berbeda-beda. Untuk menghadapi ini da’i atau mubaligh melengkapi dirinya dengan pengetahuan ilmu jiwa (psikologi), sosiologi, ilmu politik, ilmu sejarah, antropologi dan lain sebagainya. Dalam menghadapi mad’u yang latar belakangnya berbedabeda seperti jenis kelamin, tingkat umur, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, dan lain-lain maka da’i harus membekali diri dengan disiplin ilmu yang mendukung. Oleh sebab itu mad’u memiliki keunikan individu artinya setiap individu memiliki karakteristik, sifat, kebutuhan dan sebagainya yang berbeda-beda.

c. Materi dakwah
Materi dakwah kadang-kadang disebut dengan ideologi dakwah yaitu ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal pada dua pokok yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kedua hal tersebut menjadi landasan da’i dalam menyampaikan pesannya. Ia tidak boleh menyimpang dan harus selalu belajar dan menggali ajaran Islam guna menambah wawasan keIslaman, yang nantinya diharapkan menjadi modal da’i untuk lebih menguatkan mad’u dalam memahami Islam.

Adapun materi dakwah itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu:
1) Akidah, yaitu menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah SWT.
2) Syariah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktifitas manusia muslim didalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, mana
yang halal dan haram dan lain sebagainya
3) Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan dengan Allah maupun sesama makhluk dan seluruh makhluk-makhluk Allah.

d. Media dakwah
Media dakwah adalah alat yang dipakai sebagai perantara untuk melaksanakan kegiatan dakwah. Adapun alat-alat tersebut antara lain:
1) Dakwah melalui saluran lisan
Yang dimaksud dakwah secara lisan adalah dakwah secaralangsung dimana da’i menyampaikan ajakan dakwahnya kepada mad’u.
2) Dakwah melalui saluran tertulis
Dakwah dengan saluran tertulis adalah kegiatan dakwah yangdilakukan melalui tulisan-tulisan. Kegiatan dakwah tertulis ini dapat dilakukan melalui surat-surat kabar, majalah, buku-buku, buletin dan lain sebagainya.
3) Dakwah melalui alat-alat audio visual
Alat audio visual adalah peralatan yang dipakai untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan mendengar dan melihat. Peralatan audio visual ini antara lain: TV, seni drama, wayang kulit, video cassete dan lain sebagainya.
4) Dakwah melalui keteladanan.
Dakwah yang paling efektif adalah bentuk penyampaian pesan dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari da’i. Dengan demikian akan menampakkan adanya bentuk yang konsekuen antara pernyataan dan pelaksanaan.

e. Tujuan dakwah
Dalam hidup orientasi manusia mencari kebahagiaan seperti makan, minum, bergaul, menempuh pendidikan, bekerja dan sebagainya adalah contoh-contoh keseharian. Namun menurut Islam, kebahagiaan yang hakiki hanyalah mengingat Allah. Jadi bukan sebab tingginya jabatan status sosial seseorang maupun harta berlimpah, manusia mencapai derajat kebahagiaan yang sesungguhnya.

Firman Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 28:

الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذآرالله الابذآرالله تطمئن القلوب.
Artinya: “(yaitu) orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”.

Menurut Abdur Rasyid Saleh  usahadakwah baik dalam bentuk menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar, tujuannya dalam terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridloi Allah SWT.

REFERENSI
Ya’kub, Hamzah. 1981. Publisistik Islam. Bandung: Diponegoro
Umari, Barwawi. 1969. Azas-azas Ilmu Dakwah. Surakarta: Ramadhani
Depag. RI, 1989.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra
 Anshari,HM. 1993. Hafi Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya : Al Ikhlas